alert("WELCOME TO elfa Fajri's BLOG");

Minggu, 27 November 2011

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI FLAVONOID PADA DAUN KATU (Sauropus androgynus (L.) Merr)

A.  PENDAHULUAN
Tumbuhan Katu (Sauropus androgynus (L.) Merr.) telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia dan beberapa negara tetangga, baik sebagai obat tradisional, sebagai sayuran atau pewarna. Dilaporkan bahwa tumbuhan ini sering digunakan untuk pengobatan demam, bisul, borok, frambusia, sebagai diuretik, memperlancar ASI dan obat luar. Tetapi disebutkan juga bahwa konsumsi daun katu yang berlebihan dapat menimbulkan pusing, mengantuk dan sembelit.
Penelitian tentang kandungan daun katu yang tumbuh di Indonesia belum banyak dilakukan. Oleh karena itu dalam rangka menunjang program pemerintah untuk pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi sediaan fitofarmaka, perlu dilakukan penelitian kandungan kimia tumbuhan obat yang telah banyak digunakan oleh masyarakat, sehingga dapat membantu proses standardisasi bahan baku obat tradisional.
Pada kesempatan ini dilakukan penelitian kandungan senyawa flavonoid yang terdapat pada daun katu, dengan tujuan untuk mengetahui jenis flavonoid yang terdapat pada daun katu.
B.  METODE PENELITIAN
Sejumlah 1 gram serbuk bahan ditambah 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan  disaring, filtrat digunakan sebagai larutan percobaan.
Ke dalam 5 ml larutan percobaan ditambahkan sedikit serbuk magnesium, 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil-alkohol, dikocok dengan kuat dan dibiarkan memisah. Terbentuknya warna jingga atau merah jingga pada lapisan amil-alkohol menunjukkan adanya senyawa flavonoid pada waktu tumbuhan tersebut sedang berbunga. Setelah dibersihkan dari bagian tumbuhan lain, dari bahan organik asing dan pengotor lainnya, daun dikeringkan secara alami di udara dengan tidak dikenai sinar matahari langsung, kemudian digiling dan diayak dengan ayakan nomor 6, sehingga diperoleh serbuk dengan derajat kehalusan tertentu.
Ekstraksi dilakukan secara maserasi bertingkat dengan menggunakan pelarut mula-mula n-heksana kemudian etanol 95%.
Sejumlah 1 kg serbuk kering daun katu pertama-tama diekstrasi dengan n-heksana berkali-kali sampai filtrat jernih. Ampas dikeringkan kemudian diekstraksi dengan etanol 95% berkali-kali hingga filtrat jernih. Masing-masing ekstrak dipekatkan dengan penguap putar vakum sehingga diperoleh ekstrak kental. Pada penelitian ini yang digunakan adalah ekstrak etanol. Bagan ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 1.
Isolasi senyawa flavonoid dikerjakan dengan metode Charaux-Paris. Ekstrak pekat etanol dilarutkan dalam air panas, disaring kemudian diekstraksi dengan n-heksana, fraksi n-heksana dikumpulkan dan di pekatkan, diperoleh fraksi n-heksana pekat. Fraksi air diekstraksi dengan kloroform, fraksi kloroform dikumpulkan dan dipekatkan diperoleh fraksi kloroform pekat. Fraksi air diekstrasi lagi dengan etil asetat, fraksi etil asetat dikumpulkan dan dipekatkan, diperoleh fraksi etil asetat pekat. Kemudian fraksi air diekstraksi dengan n-butanol, fraksi n-butanol dikumpulkan dan dipekatkan, sehingga diperoleh fraksi n-butanol pekat. Ekstraksi dengan n-butanol dilakukan 3 kali, setiap kali dengan pelarut n-butanol yang baru, sehingga diperoleh fraksi n-butanol I, fraksi n-butanol II dan fraksi n-butanol III. Bagan fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Untuk melihat profil kromatografi dari setiap fraksi. digunakan cara kromatografi kertas. Masing-masing fraksi ditotolkan pada kertas Wathman no. 1, dielusi menggunakan cairan pengembang n-butanol - asam asetat – air.
Setelah diketahui bahwa fraksi yang mengandung jenis flavonoid terbanyak adalah fraksi n-butanol I, maka dilakukan isolasi senyawa flavonoid dengan cara kromatografi kertas preparatif.
- Cairan pengembang yang digunakan : n-butanol–asam asetat–air (4:1:5)
- Jarak rambat : 40 cm
- Teknik pengembangan : Menurun.
- Penotolan : Bentuk pita.
- Pendeteksi : Sinar UV 254/ 366
Masing-masing pita kromatogram dipisahkan, dipotong kecil-kecil dan diekstraksi dengan metanol. Untuk pemurnian isolat dilakukan pengembangan kedua secara kromatografi kertas preparatif.
- Cairan pengembang : Asam asetat 2 % dalam air
- Jarak rambat : 20 cm
- Teknik pengembangan : Menurun
- Penotolan : Bentuk pita
- Pendeteksi : Sinar UV 254/366
Setiap pita kromatogram yang diperoleh kemudian diekstraksi dengan metanol, sehingga diperoleh beberapa isolat dari senyawa flavonoid.
Identifikasi senyawa golongan flavonoid dilakukan dengan mengamati warna fluoresensi di bawah sinar ultraviolet sebelum dan sesudah penambahan uap amonia terhadap bercak isolat yang diperoleh.
Kemudian dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet dilihat geseran batokromik setelah setiap isolat dalam larutan metanol diberikan pereaksi geser natrium hidroksida, aluminium klorida, asam klorida, natrium asetat, dan asam borat secara bergantian. Dengan melihat geseran batokromik tersebut dapat diidentifikasi jenis flavonoid [3,8].
Dilakukan juga pembuatan spektrum derivatisasi dengan menggunakan spektrofotometer UV dan dibuat spectrum inframerah terhadap 2 (dua) isolat untuk lebih meyakinkan hasil identifikasi.
Dari proses isolasi terhadap fraksi n-butanol dengan menggunakan cairan pengembang I, didapatkan 5 (lima) bercak senyawa flavonoid yang mempunyai Rf 0.22, 0,29, 0,37, 0,48 dan 0,60. Bercak dominan adalah yang mempunyai Rf 0.37 dan 0,48. Kromatogram dapat dilihat pada Gambar 3.
Setelah dilakukan pemurnian dengan pengembangan ke II terhadap isolat, diperoleh bercak baru dengan Rf 0,51 yang berasal dari pemisahan bercak yang mempunyai Rf 0.37.
Setelah dilakukan identifikasi pendahuluan terhadap setiap isolat senyawa golongan flavonoid yang dilakukan dengan mengamati warna fluoresensi di bawah sinar ultra-violet sebelum dan sesudah penambahan uap amonia, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan spektrofotometer ultraviolet untuk melihat geseran batokromik setelah direaksikan dengan pereaksi tertentu, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 1 dan Gambar 4, 5, 6, 7, 8, dan 9. Dari hasil analisis tersebut dapat diberikan pembahasan sebagai berikut:
Keterangan :
1=Fraksi kloroform, 2=Fraksi etil asetat, 3=Fraksi n-butanol III, 4=Fraksi n-Butanol I, 5= Fraksi n-butanol II, 6=Fraksi air.
Pengembang : n-butanol–as.asetat–air (60:22:1,2)
Penampak bercak : Lar. Aluminium klorida 5%, sinar UV dan uap ammonia
Hasil pemeriksaan pendahuluan pada senyawa ini mengarah pada glikosida flavonol dengan OH-3 tersubstitusi dan mempunyai OH-4’, atau flavon dengan OH-5, atau flavanon dengan OH-5 atau kalkon tanpa OH pada cincin B. Hal ini didasarkan pada bercak berwarna ungu gelap di bawah sinar UV, dan warna tersebut berubah menjadi kuning setelah direaksikan dengan uap ammonia.
Dalam larutan metanol senyawa ini memberikan 2 serapan maksimum yaitu pita I 358,0 dan pita II 258,0 sehingga menunjukkan bahwa senyawa tersebut adalah flavon atau flavanon. Adanya pundak pada serapan maksimum pita II menunjukkan adanya 2 atau lebih atom O pada cincin B.
Dengan penambahan natrium hidroksida serapan maksimum pita I menjadi 413,0, terjadi pergeseran batokromik 55 nm dan tanpa disertai penurunan intensitasnya, hal ini menunjukkan adanya OH-4’ bebas. Terbentuknya pita baru dengan serapan maksimum 333 menunjukkan adanya OH-7 bebas. Jadi senyawa tersebut mengarah ke flavonol bukan kalkon.

Dengan penambahan natrium asetat serapan maksimum pita II bergeser 15 nm tanpa penurunan intensitas, hal ini semakin memperkuat adanya OH-7 bebas, dengan penambahan asam borat pada larutan natrium asetat serapan amksimum pita I bergeser sebesar 22 nm, hal ini menunjukkan adanya ortodihidroksi ada cincin B.
Penambahan aluminium klorida mengakibatkan pergeseran batokromik serapan maksimum pita I sebesar 53 nm, ini menunjukkan adanya OH-5 bebas tanpa oksigenasi pada posisi 6 dan pergeseran berkurang pada penambahan asam klorida untuk pita I menunjukkan gugus ortodihidroksi. Dari data tersebut di atas, maka senyawa tersebut mengarah pada struktur flavonol OH-3 tersubstitusi, dengan OH pada posisi atom C nomor 5, 7, 4’, 5’, dan dengan melihat hasil derivatisasi dan spektrum inframerah maka senyawa SA-DE-1 mengarah pada struktur senyawa rutin. Hasil derivatisasi dan spectrum inframerah dapat dilihat pada Gambar 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17.
Hasil pemeriksaan pendahuluan isolat SA-DE-2 dengan melihat bercak berwarna ungu gelap dibawah sinar UV dan berubah menjadi kuning dengan uap amonia, serta adanya serapan maksimum pita I 348,0 nm dan pita II 267,0 nm dalam metanol, maka senyawa ini mengarah pada struktur flavonol OH-3 tersubstitusi atau kalkon. Dengan penambahan natrium hidroksida, serapan maksimum pita I bergeser batokromik sebesar 53 nm menjadi 401,0 nm tanpa pengurangan intensitas, hal ini menunjukkan adanya OH-4’ bebas. Terbentuknya pita baru dengan serapan 326 nm menunjukkan adanya OH-7 dan senyawa tersebut mengarah pada flavonol OH-3 tersubstitusi. Terjadinya pergeseran batokromik pita II sebesar 5 nm pada penambahan natrium asetat juga menunjukkan adanya OH-bebas. Pergeseran lebih kecil pada penam-bahan natrium asetat dan asam borat pada pita I menunjukkan adanya orto dihidroksi pada cincin A (dapat 6,7 atau 7,8).
Pergeseran batokromik pita I sebesar 50 nm pada penambahan aluminium klorida dan asam klorida menunjukkan adanya OH-5 bebas, tanpa oksigenasi pada 6.
Dari data spektrum ultraviolet tersebut, senyawa SA-DE-2 mengarah pada struktur flavonol OH-3 tersubstitusi dengan OH pada posisi atom C nomor 5, 7, 8 dan 4’. Puncak-puncak spektrum inframerah dari senyawa tersebut memberikan petunjuk adanya gugus OH (3400 cm-1 ), gugus ester C=O pada 1660 cm-1 dan C=O flavonoid 1600 cm-1. Gugus-gugus tersebut merupakan gugus utama flavonoid.
Melihat data spektrum inframerah dan ultraviolet belum cukup memberikan arah untuk menentukan jenis senyawa isolate SA-DE-2. Spektrum inframerah SA-DE-2 dapat dilihat pada Gambar 18.
Reaksi pendahuluan untuk senyawa SA-DE-3 memperlihatkan sebagai bercak berwarna ungu gelap di bawah sinar ultraviolet, setelah diberikan uap amonia bercak tersebut mengalami perubahan sedikit.
Dalam metanol puncak serapan pita I 346 nm dan pita II 267 nm, hal ini mengarahkan pada golongan flavon, flavonol OH-3 tersubstitusi atau Kalkon.
Pada penambahan natrium hidroksida puncak serapan pita I bergeser batokromik menjadi 399 nm dan mempunyai puncak intensitas yang tidak menurun, hal ini menunjukkan adanya OH-4’ bebas.
Pada penambahan natrium asetat terjadi pergeseran batokromik pita II 3 nm dan intensitas tidak menurun, hal ini menunjukkan adanya OH-7 dan mungkin adanya oksigenasi pada atom C nomor 6 atau 8.
Penambahan aluminium klorida dan asam klorida tidak terjadi perubahan pada pita I, kemungkinan ada OH-5 dengan gugus prenil pada 6.
Dari data spektrum ultraviolet tersebut, maka senyawa SA-DE-3 mengarah pada struktur flavonol OH-3 tersubtitusi dengan substitusi OH pada atom C nomor 5, 7, 4’ dan mungkin gugus prenil pada atom C nomor 6 dan oksigenasi pada atom C nomor 8.
Hanya dengan melihat data spektrum ultraviolet, belum dapat memberikan arah untuk identifikasi jenis senyawa SA-DE-3.
Dalam larutan metanol senyawa ini memberikan serapan pita I 344 nm dan pita II 269 nm. Dengan melihat bercak ungu gelap di bawah sinar ultra violet dan berubah menjadi hijau kuning setelah diberikan uap amonia, maka senyawa ini mengarah pada flavon, kalkon atau flavonol.
Pada penambahan natrium hidroksida terjadi pergeseran batokromik pita I sebesar 62 nm dan tanpa penurunan kekuatan, sehingga menunjukkan adanya OH-4’.
Penambahan natrium asetat menunjukkan adanya OH-7 dan mungkin ada oksigenasi pada 6 atau 8, ini dapat dilihat dengan adanya pergeseran pita II kurang dari 5 nm. Pergeseran batokromik 4 nm pada pita II dengan adanya penambahan natrium asetat dan asam borat menunjukkan adanya orto dihidroksi pada cincin A (6, 7 atau 7, 8).
Tidak berubahnya serapan maksimum pita II dengan penambahan aluminium klorida dan asam klorida menunjukkan kemungkinan adanya OH-5 dengan gugus prenil pada atom C nomor 6.
Dari data spektrum ultraviolet tersebut senyawa SA-DE-4 mengarah ke senyawa flavonol dengan OH-3 tersubstitusi dan substitusi OH terdapat pada posisi atom C nomor 5, 7, 8, 4’, dan kemungkinan ada gugus prenil pada atom C nomor 6.
Senyawa SA-DE-5 mempunyai pola spektrum ultraviolet yang sama dengan SA-DE-4, jadi kemungkinan kedua senyawa tersebut mempunyai struktur yang mirip hanya perbedaannya pada SA-DE-5 mempunyai ortho-dihidroksi pada cincin B, hal ini terlihat adanya pergeseran batokromik 15 nm pada pita I setelah penambahan natrium asetat dan asam borat.
Dalam larutan metanol senyawa ini memberikan serapan maksimum pita I 346 nm dan pita II 268 nm. Warna bercak ungu gelap di bawah sinar ultraviolet dan berubah sedikit bila diberikan uap amonia. Dari data tersebut senyawa ini mengarah kepada struktur flavon, flavonol OH-3 tersubstitusi atau khalkon.
Tetapi dengan adanya OH-7 (terlihat dengan adanya pergeseran batokromik pita II setelah penambahan natrium asetat), maka senyawa tersebut mengarah ke flavonol OH-3 tersubstitusi atau flavon. Pada penambahan natrium hidroksida maka terjadi pergeseran batokromik pita I dan tidak terjadi penurunan intensitas sebesar 53 nm, hal ini menunjukkan
adanya OH-4’ bebas.
Tidak terjadinya perubahan serapan maksimum Pita I pada penambahan aluminium klorida dan asam klorida menunjukkan kemungkinan adanya OH-5 dengan gugus prenil pada posisi atom C nomor 6.
Dari data spektrum tersebut, maka senyawa SA-DE-6 mengarah pada struktur flavon atau flavonol OH-3 tersubstitusi, dengan substitusi OH pada atom C nomor 5, 7, 4’ dan kemungkinan dengan gugus prenil pada atom C nomor 6.
KESIMPULAN
Enam senyawa flavonoid telah berhasil diisolasi dari daun katu dari ekstrak etanol 95%. Setelah dilakukan identifikasi salah satu senyawa flavonoid tersebut adalah rutin, sedangkan 5 senyawa lainnya mengarah kepada golongan flavonol OH-3 tersulih, atau golongan flavon. Senyawa rutin dapat digunakan sebagai zat identitas untuk daun katu.
Disarankan untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut terhadap senyawa flavonoid yang telah berhasil diisolasi, dengan menggunakan peralatan yang lebih canggih.

Review Jurnal : “Profil Pencemaran Udara Kawasan Perkotaan Yogyakarta: Studi Kasus di Kawasan Malioboro, Kridosono, dan UGM Yogyakarta”

A.      LATAR BELAKANG
Gubernur DI.Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X mengatakan, tingkat pencemaran udara di wilayah Jateng dan Yogyakarta makin tinggi, kalau boleh dikatakan sudah memasuki nilai ambang batas, sehingga semua pihak diminta waspada dan berhati-hati. Sehubungaan dengan itu, perlu diambil langkah-langkah untuk menghindari kemungkinan hujan asam yang efeknya merugikan manusia. Secara umum,meski dari hasil penelitian belum dapat disimpulkan ada tren naik atau menurun dalam hal gas polutan yang dilepas ke udara, mengingat dari hasil pemantauan beberapa parameter menunjukkan angka fluktuatif, sesungguhnya harus diakui kualitas udara menurun. Bahkan beberapa pakar berpendapat, kualitas udara Yogyakarta sudah memasuki nilai ambang batas dan perlu diwaspadai. Karena itu perlu segera diambil langkah-langkah guna menghindari kemungkinan terjadi hujan asam. Sekarang di jalan raya makin banyak para pengendara sepeda motor yang mengenakan masker meskipun seadanya. Sebab, mereka menyadari bahwa tingkat pencemaran udara makin tinggi (Sri Sultan HB X, 2002).
Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini lebih difokuskan pada profil fisikokimiawi pencemaran udara dan konservasi ruang terbuka hijau (RTH) menuju eco-garden city yang nyaman, ramah lingkungan dan berkelanjutanmelalui karakterisasi tanaman hutan kota (THK) yang berfungsi sebagai bioreductor pencemaran udara yang lebih difokuskan pada pencemar logamberat timbal/timah hitam(Pb). Karakterisasi berbagai jenis tanaman yang banyak ditanam di kawasan tumbuh cepat perkotaan Yogyakarta dengan beragam fungsinya yang kemudian disebut tanaman hutan kota (THK). Data yang dihasilkan dalam penelitian ini sangat diperlukan untuk formulasi tata ruang eco-garden city yang nyaman, ramah lingkungan dan sustainable di kawasan tumbuh cepat perkotaan Yogyakarta sekaligus sebagai output penelitian ini secara holistic.

B.       METODE
1.      Alat
·         HVAS
·         Termometer
·         RH-meter
·         Anemo meter
·         Midget impinge
·         Colorimeter
·         Gravimetri
·         AAS
2.      Bahan
Sampel udara sebanyak 9 sampel yang diambil di setiap titik sampel yang berjumlah 3 titik, yaitu di kawasan Malioboro, Kridosono dan UGM.
3.      Langkah Kerja
Metode penelitiannya menggunakan desain penelitian lapangan dan laboratorium dengan pendekatan eksperimen (true experimental research). Dalam penelitian ini dibatasi pada 3 titik sampling yang diharapkan dapat mewakili populasi secara kewilayahan, yakni kawasan tumbuh cepat perkotaan Yogyakarta. Dalam 3 titik sampel tersebut diuji parameter fisik dan kimianya yang terkait dalam pencemaran udara di lokasi sampling tersebut. Tiga titik sampling tersebut terdiri dari kawasan Malioboro tepatnya di depan gedung DPRD yang mewakili pusat kota, kawasan Kridosono yang mewakili pemukiman kota, dan kawasan UGM tepatnya di jalur perempatan MM yang mewakili kampus kota. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai parameter kimia yang diteliti adalah kadar Pb di udara, dalam daun tanaman, dan dalam air cucian (leaching) daun tanaman sampel.








C.      DATA
Kondisi fisikokimia yang berhasil diuji dan dianalisis secara langsung di 3 titik sampling.
Tabel 1.
Kondisi fisikokimia di titik sampling 1 (kawasan Malioboro)
No.
Parameter
Satuan
Baku Mutu
Hasil Pengujian
Alat / Metode

Fisika :




1.
Suhu udara
oC
-
36
Thermometer
2.
Kelembaban udara
%
-
42
RH-meter
3.
Kecepatan angin
m/s
-
0,8
Anemo meter
4.
Keadaan cuaca
-
-
Cerah
Visual

Kimia :




1.
Timbal (Pb)
µg/m3
60
68,24
HVAS, Destruksi, AAS
2.
Sulfur dioksida (SO2)
mg/L
0,3
1,168
Midget impinge, Calorimeter
3.
Nitrogen dioksida (NO2)
mg/L
0,2
0,81
Midget impinge, Calorimeter
4.
Partikulat (debu)
µg/m3
230
0,296
HVAS, Gravimetri
Sumber : data primer tanggal 14 Maret 2007

Tabel 2
Kondisi fisikokimia di titik sampling 2 (kawasan Kridosono)
No.
Parameter
Satuan
Baku Mutu
Hasil Pengujian
Alat / Metode

Fisika :




1.
Suhu udara
oC
-
28
Thermometer
2.
Kelembaban udara
%
-
49
RH-meter
3.
Kecepatan angin
m/s
-
1,3
Anemo meter
4.
Keadaan cuaca
-
-
Cerah
Visual

Kimia :




1.
Timbal (Pb)
µg/m3
60
46,97
HVAS, Destruksi, AAS
2.
Sulfur dioksida (SO2)
mg/L
0,3
1,006
Midget impinge, Calorimeter
3.
Nitrogen dioksida (NO2)
mg/L
0,2
0,16
Midget impinge, Calorimeter
4.
Partikulat (debu)
µg/m3
230
0,215
HVAS, Gravimetri
Sumber : data primer tanggal 14 Maret 2007

Tabel 3.
Kondisi fisikokimia di titik sampling 3 (kawasan UGM)
No.
Parameter
Satuan
Baku Mutu
Hasil Pengujian
Alat / Metode

Fisika :




1.
Suhu udara
oC
-
35
Thermometer
2.
Kelembaban udara
%
-
51,5
RH-meter
3.
Kecepatan angin
m/s
-
1,7
Anemo meter
4.
Keadaan cuaca
-
-
Cerah
Visual

Kimia :




1.
Timbal (Pb)
µg/m3
60
46,75
HVAS, Destruksi, AAS
2.
Sulfur dioksida (SO2)
mg/L
0,3
1,112
Midget impinge, Calorimeter
3.
Nitrogen dioksida (NO2)
mg/L
0,2
0,1
Midget impinge, Calorimeter
4.
Partikulat (debu)
µg/m3
230
0,216
HVAS, Gravimetri
Sumber : data primer tanggal 14 Maret 2007

D.      PEMBAHASAN
Pada tabel 1 tersebut bahwa secara kimia, parameter logam berat Pb di udara menunjukkan angka yang lebih besar dibanding baku mutunya. Adapun parameter kimia lainnya seperti SO2 dan NO2 juga menunjukkan angka yang jauh lebih besar dibanding baku mutunya. Parameter suhu udara sangat tinggi yakni 36oC padahal suhu kamar untuk daerah tropis seperti Indonesia umumnya berkisar 27oC, jadi peningkatan panasnya adalah 9oC. Peningkatan suhu ruang yang besar menyebabkan penurunan kadar air di udara sehingga kelembaban udaranya menjadi rendah yakni 42 %.
Pada tabel 2 tersebut bahwa secara kimia, parameter logam berat Pb di udara  menunjukkan angka yang lebih kecil dibanding baku mutunya. Adapun parameter kimia lainnya seperti SO2 juga menunjukkan angka yang jauh lebih besar dibanding baku mutunya, sedangkan parameter NO2 menunjukkan angka yang relatif kecil dibanding baku mutunya. Secara fisik, parameter suhu udara relatif sama dengan suhu kamar, hanya selisih 1oC yakni 28oC padahal suhu kamar untuk daerah tropis seperti Indonesia umumnya berkisar 27oC, jadi peningkatan panasnya adalah 1oC. Suhu ruang yang relatif sama dengan suhu kamar menyebabkan peningkatan kadar air di udara sehingga kelembaban udaranya menjadi tinggi yakni 49 %.
Pada tabel 3 tersebut bahwa secara kimia, parameter logam berat Pb di udara menunjukkan angka yang lebih kecil dibanding baku mutunya. Adapun parameter kimia lainnya seperti SO2 juga menunjukkan angka yang jauh lebih besar dibanding baku mutunya, sedangkan parameter NO2 menunjukkan angka yang relatif kecil dibanding baku mutunya. Secara fisik, parameter suhu udara sangat tinggi yakni 35oC padahal suhu kamar untuk daerah tropis seperti Indonesia umumnya berkisar 27oC, jadi peningkatan panasnya adalah 8oC. Peningkatan suhu ruang yang besar ternyata menyebabkan kenaikan kadar air di udara sehingga kelembaban udaranya menjadi sangat tinggi yakni 51,5 %.
Fakta tersebut bertentangan dengan fakta pada lokasi sampel I (kawasanMalioboro), setelah dianalisis lebih lanjut ternyata yang menyebabkan peningkatan kelembaban udara di lokasi sampel III (kawasan UGM) adalah adanya air selokan Mataram yang melimpah di dekat lokasi sampling sehingga kadar air di udara menjadi lebih besar.

E.       KESIMPULAN
Berdasarkan uraian analisis dan pembahasan di atas maka secara berurutan dapat disimpulkan bahwa tingkat pencemaran udara yang ditinjau dari aspek fisikokimiawi adalah kawasan Malioboro kemudian kawasan Kridosono dan terakhir kawasan UGM. Secara fisikokimiawi parameter cemaran udaranya sudah melebihi ambang batas/baku mutunya khususnya di kawasan Malioboro. Adapun tingkat pencemaran udara di kawasan Kridosono lebih rendah dibanding kawasan Malioboro, dan tingkat pencemaran di kawasan UGM relatif sama dengan kawasan Kridosono kecuali aspek fisiknya yang relatif berbeda. Langkah strategis yang dapat dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah dengan menciptakan sabuk hijau di jalur-jalur transportasi padat, khususnya jenis pohon/tumbuhan tertentu yang memiliki kemampuan untuk menyerap cemaran udara.